Aliran Konstruktivisma


A.      Pendahuluan
     Banyak anak indonesia banyak yang tidak melanjutkan studinya dan banyak pengangguran setelah lulus sekolah, pernyataan berikut menunjukan betapa masih rendahnya mutu pendidikan di indonesia. Rendahnya mutu pendidikan di indonesia, membawa kita untuk menengok kembali proses pendidikan yang terjadi sebelumnya. Proses pendidikan berpengaruh pada mutu hasil pendidikan. Rendahnya mutu pendidikan berpengaruh pula pada rendahnya mutu lulusan yang dihasilkan
     Salah satu komponen pendidikan yang dapat mempengaruhi tingkat mutu pendidikan yaitu unsur pendidikan (pesrta didik, pendidik, tujuan pendidikan, sarana prasarana pendidikan). Perlu adanya pedoman yang tepat dan jelas yang dapat membawa pendidikan kearah peningkatan mutu yang lebih baik. Filsafat pendidikan merupakan penerapan konsep pemikiran filsafat dapat digunakan sebagai salah satu pedoman.
     Aliran filsafat konstruktivisme dalam pendidikan menekankan pada keaktifan siswa untuk mengembangkan pengetahuannya, dan bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya. Siswa akan lebih aktif dan kreatif sehingga mampu berdiri sendiri dalam kehidupan kognitifnya. Kreativitas siswa akan membantunya menjadi orang yang kritis dalam menganalisis suatu hal sebab mereka selalu berfikir, tak hanya menerima saja.
B.       Latar Belakang Masalah
     Tantangan utama bangsa indonesia ini dan dimasa depan adalah kemampuan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam kaitan ini menarik untuk dikaji bagaimana mutu pendidikan kita dan upaya apa yang dapat dilakukan  untuk meningkatkan mutu pendidikan sehingga dapat menghasilkan sumber daya manusia yang lebih berkualitas sebagaimana yang diharapkan, agar bangsa indonesia menjadi bangsa yang produktif, efesien, dan memiliki kepercayaan diri yang kuat sehingga mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain dalam kehidupan gelobal ini.
     Dengan lahirnya otonomi pendidikan yang memberiakan hak sepenuhnya kepada setiap lembaga pendidikan dan satuan pendidikan mulai dari tingkat paling bawah sampai paling atas untuk mencari dana sendiri. Dalam dunia pendidikan tersebut semakin runyam, bermasalah, dan rumit ketika..memiliki propesionalisme yang tinggi dalam proses penyelesain masalah atau dalam penyelenggaraan pendidikan tersebut.
     Ditambah lagi dengan penyelenggaraan ujian nasional (UNAS) yang sampai saat ini tetap menjadi perdebatan panjang para pelaku pendidik (Pemerintah, Guru, Dosen, Peserta didik dan masyarakat) bahkan permasalan ini telah diwa keranah hokum oleh peserta didik dan beberapa pelaku pendidikan dan menjadi persengketaan, ini jelas memberikan dampak yang sangat tidak baik bagi kelangsungan pendidikan di Indonesia dan akhirnya nanti kualitas pendidikan terhadap bangsa itu sendiri baik untuk mencerdaskan setiap anak bangsa guna memajukan bangsa itu sendiri yang tertuang dalam amanat undang-undang bangsa kita akan tidak maksimal dan akan terus menjadi sorotan.
     Laporan Perkembangan Pencapaian Tujuan Pembangunan Milenium (Februari 2004) menempatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia (IPM) berada di urutan 111 dari 177 negara. Laporan ini menunjukkan bahwa hanya 46,8% saja dari anak-anak usia pendidikan dasar yang bisa menyelesaikan sembilan tahun pendidikan dasar. Hanya 68,4% ibu-ibu yang melahirkan dengan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan terlatih. Angka kematian ibu sudah mencapai 307 orang setiap 100.000 kelahiran. Setiap 1000 kelahiran 35 bayi harus meninggal. Kemudian 46 dari 1000 balita meninggal karena buruknya pelayanan kesehatan. Jumlah dan proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan nasional, sudah berjumlah 38.394.000 orang. Penduduk Indonesia yang memiliki rumah hanya 32,3%. Angka pengangguran juga meningkat dari tahun 1994 berjumlah 3.738.000 orang dan tahun 2003 sudah menjadi 9.531.000 orang. (Asian Development Bank - Key Indicators 2004 - www.adb.org/statistics).
C.      Identifikasi Masalah
     Dari latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas, dapat di identifikasi masalah sebagai berikut.
1.    Lahirnya otonomi pendidikan
2.    Penyelenggaraan ujian nasional (UNAS)
3.    Angka pengangguran yang semakin meningkat
D.      Dasar Teori
Ada tiga tokoh dalam aliran konstuktivisme
           1.    Konstruktivisme Menurut J. Piaget
Teori perkembangan kognitif Piaget menyatakan bahwa kecakapan kognitif atau intelektual anak dan orang dewasa mengalami kemajuan melalui empat tahap (dalam Hudojo, 2003), yaitu sensori-motor (lahir sampai 2 tahun); pra-operasional (2 sampai 7 tahun): operasi konkret (7 sampai 11 atau 12 tahun), dan operasi formal (lebih dari 11 atau 12 tahun). Dalam pandangan Piaget pengetahuan didapat dari pengalaman, dan perkembangan mental siswa bergantung pada keaktifannya berinteraksi dengan lingkungan (Slavin, 2000).
Pada tahap pra-operasional karakteristiknya merupakan gerakan- gerakan sebagai akibat langsung. Pada tahap operasi konkret siswa didalam berpikirnya tidak didasarkan pada keputusan yang logis melainkan didasarkan kepada keputusan yang dapat dilihat seketika. Pada            tahap operasi konkret ditandai dengan siswa mulai berpikir matematis logis berdasar pada manipulasi fisik dari obyek-obyek. Pada tahap operasi formal siswa dapat memberikan alasan-alasan dengan menggunakan simbol-simbol atau ide daripada obyek-obyek yang berkaitan dengan benda-benda di dalam cara berpikirnya. (Hudojo, 2003).
Piaget meyakini bahwa kecenderungan siswa berinteraksi dengan lingkungan adalah bawaan sejak lahir. Siswa memproses dan mengatur informasi dalam benaknya dalam bentuk skema (scheme). Hudojo (2003:59) menyatakan skema adalah pola tingkah laku yang dapat berulang kembali. Slavin (2000: 30) menyatakan siswa mendemonstrasikan pola tingkah laku dan pemikiran yang disebut skema. Jadi mengacu pada kedua pendapat Hudojo dan Slavin, skema adalah pola tingkah laku dan   pemikiran yang dapat berulang kembali. Dengan demikian, skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh siswa untuk menyesuaikan dengan  lingkungan dan mengorganisasikannya. Penguasaan terhadap suatu skema baru mengindikasikan adanya perubahan di dalam struktur mental siswa.
Adaptasi berkaitan dengan penyesuaian skema yang sudah dimiliki siswa ketika berinteraksi dengan lingkungan. Menurut Piaget adaptasi adalah suatu proses penyesuaian skema dalam merespon lingkungan melalui asimilasi atau akomodasi. Asimilasi adalah proses menyerap            pengalaman baru berdasar pada skema yang sudah dimiliki dan akomodasi adalah proses menyerap pengalaman baru dengan cara memodifikasi skema yang sudah ada atau bahkan membentuk skema yang benar-benar     baru (Hudojo, 2003: 60).
Perkembangan struktur mental siswa bergantung pada proses asimilasi dan akomodasi. Masuknya skema baru dalam struktur mental siswa terutama tergantung pada proses akomodasi dalam menyerap pengalaman-pengalaman baru dengan cara siswa sendiri. Melalui adaptasi ini siswa memperoleh pengalaman-pengalaman matematika yang baru berdasarkan pengalaman-pengalaman matematika yang telah dimilikinya
            2.      Konstruktivisme Menurut von Glasersfeld
Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan pendapat von Glasersfeld berbeda secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realitas. von Glasersfeld berpendapat bahwa pengetahuan dan realitas tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi   melalui indera atau melalui komunikasi. von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahwa konstruktivisme radikal untuk tidak diinterpretasikan sebagai gambaran dari realitas secara mutlak tetapi sebagai model pengetahuan (model of knowing) dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Dalam pembelajaran,       konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu, sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget.
Berkaitan dengan pembelajaran, von Glasersfeld (dalam Yackel, Cobb, Wood, dan Merkel; 2002) menyatakan pandangannya sebagai berikut. Jika mempercayai bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh setiap individu yang belajar, maka pembelajaran menjadi sangat berbeda dengan pembelajaran tradisional yang meyakini pengetahuan ada di kepala guru dan guru harus mencari cara untuk mentransfer pengetahuan tersebut kepada siswa. Pembelajaran menurut konstruktivisme radikal memandang bahwa pengetahuan harus dikonstruksi oleh individu. Jadi berdasar  informasi yang masuk ke diri siswa, siswa aktif belajar mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman sendiri. Hal ini, pada awal penyerapan pengetahuan, dimungkinkan terjadinya perbedaan konsepsi antar siswa terhadap hasil pengamatan.
Apa yang disampaikan guru belum tentu diterima siswa sebagaimana apa yang diharapkan guru. Tugas guru utamanya bukan mentransfer pengetahuan tetapi memfasilitasi kegiatan pembelajaran sehingga siswa memiliki kesempatan aktif belajar dengan cara mengkonstruksi        pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam kegiatan pembelajaran guru perlu mempertimbang adanya perbedaan tingkat konsepsi siswa terhadap apa yang yang diamati. Dalam memahami suatu konsep sering terjadi konflik kognitif disebabkan oleh adanya   problematika perbedaan tingkat konsepsi akibat beragamnya pengalamansiswa. hal seperti ini, guru perlu membuat kesepakatan-kesepakatan konseptual misalnya melalui diskusi kelas.
            3.      Konstruktivisme Menurut Vygotsky
Psikolog Rusia Lev Semionovich (meninggal tahun 1934), berkaitan dengan perkembangan intelektual siswa mengemukakan dua ide. Pertama bahwa perkembangan intelektual siswa dapat dipahami hanya dalam konteks budaya dan sejarah pengalaman siswa (van der Veer dan Valsiner dalam Slavin, 2000) dan mempercayai bahwa perkembangan intelektual   bergantung pada sistem tanda (sign sistem) yang individu berkembang dengannya (Ratner dalam Slavin, 2000: 43). Sistem tanda adalah simbol-simbol yang secara budaya diciptakan untuk membantu orang berpikir, berkomunikasi, dan memecahkan masalah, misalnya budaya bahasa, sistem tulisan dan sistem perhitungan.
Berkaitan dengan pembelajaran, Vygotsky mengemukakan empat prinsip    (Slavin, 2000:256):
a. pembelajaran sosial (social leaning). Pendekatan pembelajaran yang dipandang sesuai adalah pembelajaran kooperatif. Vygotsky menyatakan bahwa siswa belajar melalui interaksi bersama dengan orang dewasa atau teman yang lebih cakap.
b.   ZPD (zone of proximal development). Bahwa siswa akan dapat mempelajari konsep
   konsep dengan baik jika berada dalam ZPD. Siswa bekerja dalam ZPD jika siswa tidak dapat memecahkan masalah sendiri, tetapi dapat memecahkan masalah itu setelah mendapat bantuan orang dewasa atau temannya (peer).
c.    masa magang kognitif (cognitif apprenticeship). Suatu proses yang menjadikan siswa
    sedikit demi sedikit memperoleh kecakapan intelektual melalui interaksi dengan orang yang
    lebih ahli, orang dewasa atau teman yang lebih pandi.
d. pembelajaran termediasi (mediated learning). Vygostky menekankan pada scaffolding. Siswa diberi masalah yang kompleks, sulit, dan realistik, dan kemudian diberi bantuan secukupnya dalam memecahkannya.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan       pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Banyak pemerhati pendidikan yang mengembangkan model pembelajaran berdasar teori pembelajaran Vygotsky, misalnya model pembelajaran kooperatif, model pembelajaran peer interaction, model pembelajaran        kelompok, dan model pembelajaran problem posing.
E.       Pembahasan
   Jean Piaget psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme, teori pengetahuannya dikenal dengan teori adaptasi kognitif. Menurut Piaget setiap organisme harus dapat beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat bertahan hidup. Analog dengan hal tersebut manusia (siswa) pada kenyataanya berhadapan dengan tantangan, pengalaman, gejala baru, dan persoalan yang harus ditanggapinya secara kognitif. Maka siswa harus mengembangkan skema pemikiran yang lebih umum atau rinci atau perlu perubahan, menjawab, menginterpretasikan pengalaman tersebut. Dengan cara ini pengetahuan seseorang terbentuk dan selalu berkembang.
Konstruktivisme menekankan perkembangan dan konsep dan pengertian yang lebih mandalam, pengetahuan sebagai konstruksi aktif yang dibuat siswa. Jika seseorang tidak aktif membangun pengetahuannya, meskipun usianya tua tetap tidak akan berkembang pengetahuannya.
     Pengetahuan berguna jika pengetahuan tersebut mampu memecahkan persoalan yang ada. Pengetahuan merupakan proses yang terus berkembang. ( Great News: 2008) Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, apa yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis. Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta suatu makna dari apa yang dipelajari ( Wikipedia : 2008). Konstruktivisme adalah suatu upaya membangun tata susunan hidup yang berbudaya modern. (Whandi:2008).Senada dengan pengertian sebelumnya Callahan juga mengatakan bahwa konstruktivisme menginginkan adanya perbaikan kondisi manusia pada umumya ( Pidarta :2000).
Penerapan pendidikan dengan pola konstruktivisme diwujudkan dengan mengajak siswa secara aktif membangun konsep-konsep kognitif. Guru tidak sekedar memberi, namun siswa mencari secara aktif, dan mengembangkannya. Satu contoh misalnya dalam pembelajaran sain. Siswa terlebih dahulu diajak untuk mengamati fenomena-fenomena alam yang ada seperti pelangi, banjir, merebaknya hama tanaman tertentu. Melalui fenomena yang ada, guru mengarahkan siswa untuk mencari penyebabnya. Siswa menemukan sendiri penyebab terjadinya pelangi, banjir ataukah hama.
Pengetahuan tidak berhenti sampai di sini, pengetahuan siswa tentang penyebab terjadinya banjir, digunakan siswa untuk mencari solusi pencegahan banjir yang banyak terjadi. Penerapan solusi pencegahan banjir, memerlukan pengetahuan-pengetahuan yang baru, disinilah terlihat dinamikan pengetahuan. Pengetahuan semakin berkembang pada diri siswa, dan dicari sendiri secara aktif oleh siswa. Pengetahuan baru ini juga menciptakan perbaikan, banjir berkurang. Dan pengetahuan baru jelas merupakan tindakan bermakna, sebab memberikan manfaat pada perbaikan lingkungan.
cirri-cir konstruktivisme dalam pembelajaran
           1.    Siswa aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada.
           2.    Siswa membina sendiri pengetahuan
           3.   Proses pembinaan pengetahuan pada siswa melalui proses saling mempengaruhi antara
                pembelajaran yang terdahulu dengan pembelajaran yang terbaru
           4.    Membandingkan informasi baru dengan pemahaman yang sudah ada
           5.    Ketidak-seimbangan merupakan faktor motivasi pembelajaran yang utama
           6.    Bahan pengajaran dikaitkan dengan pengalaman siswa untuk menarik minat belajarnya
     Pembelajaran konstruktivisme sebaiknya melibatkan guru yang konstruktif pula. Guru tidak hanya memberi pengetahuan kepada siswa, tetapi guru membantu siswa membangun sendiri pengetahuan dalam benaknya, dengan memberikan kesempatan siswa untuk menentukan atau menerapkan ide-ide mereka sendiri. Guru memberikan kepada siswa anak tangga untuk membawa siswa kepada pemahaman yang lebih tinggi dan siswa harus memanjat sendiri
anak tangga tersebut.
Guru yang konstruktivisme memiliki cirri- cirri:
1.    Mendukung dan menerima inisiatif dan otonomi siswa.
2. Mencari tahu tentang pengertian siswa akan konsep yang diberikan sebelum membagi pengertian mereka akan konsep tersebut.
3.    Mendukung siswa untuk terlibat dalam dialog, baik dengan guru atau sesama siswa.
4.    Memberikan pertanyaan terbuka untuk mendorong siswa bertanya.
5.    Mencari perluasan dari tanggapan siswa.
6.    Mengajak siswa terlibat dalam pengalaman yang mungkin bertentangan dengan hipotesa awal mereka dan kemudian mendorongnya untuk diskusi.
7. Memberi waktu bagi siswa untuk membentuk hubungan dan menciptakan metafora atau perumpamaan.
8.  Mengembangkan keinginan dari siswa dengan sering menggunakan model lingkaran belajar atau siklus belajar.
     Pendidikan dengan pola konstruktivisme, akan menciptakan pengalaman baru yang menuntut aktivitas kreatif produktif dalam konteks nyata yang mendorong siswa untuk berfikir dan berfikir ulang lalu mendemonstrasikan. Siswa yang kreatif, akan mudah menyelesaikan persoalan-persoalan yang ada. Tentunya ini akan berkaitan pula dengan kemampuannya menjawab soal-soal ujian akhirnya. NEM akan meningkat, siswa putus sekolah akan berkurang. Pembelajaran yang berorientasi pada permasalahan yang ada di lingkungan, dan selalu mengikuti perkembangan, akan memperluas pandangan siswa, sehingga pengetahuannya tidak terbatas pada apa yang didapat di kelas. Pengetahuannya berkembang sesuai tuntutan zaman, sehingga pada saatnya nanti harus bekerja, aplikasi ilmunya sesuai dengan apa yang diperlukan saat itu. Lulusan sekolah siap bekerja, pengangguran akan berkurang

F.       Kesimpulan
Inti aliran konstruktivisme dalam pendidikan adalah memberikan penekanan pada siswa untuk aktif mengembangkan pengetahannya, siswa harus bertanggung jawab terhadap hasil belajarnya, dengan demikian siswa menjadi lebih aktif dan kreatif sehingga mampu berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif mereka. Siswa yang kreatif akan terbantu menjadi orang yang kritis menganalisis suatu hal sebab mereka selalu berfikir, tak hanya menerima saja

Daftar Pustaka
Asian Development Bank - Key Indicators 2004 - www.adb.org/statistics


Tidak ada komentar: